Menapaki Jalan yang Sepi, Berproses Dalam Sunyi.

Maremia Azani
4 min readMar 24, 2024

--

Source: Private Document

5 bulan sudah setelah tulisan terakhirku, meskipun ada banyak ide tapi nggak banyak yang mau aku tulis. Hari-hari banyak kuhabiskan dengan pekerjaan WFH, membantu usaha kecil orang tuaku dan menikmati hasil kerjaku dengan membeli beberapa barang kebutuhan yang memang sudah layak diganti.

Judul ini adalah kalimat yang muncul ketika aku sedang sibuk-sibuknya bekerja sampai jari keram. Diantara semua ide tulisan yang sudah nggak sabar untuk ditulis, aku merasa punya urgensi tertentu untuk menulis ini. Mungkin karena judul ini paling mewakili apa yang aku lakukan selama setengah tahun ini.

Semua hal yang terjadi selama beberapa bulan ini aku simpan diam untuk diriku sendiri. Susahnya, sedihnya, sulitnya, bahagianya, syukurnya, senyum dan kesal bahkan bengong yang hanya aku gariskan lewat tulisan ini.

Perjalanan yang sunyi adalah satu-satunya tempatku menapaki kaki. Ratusan ide terjerembab dalam malas atau penundaan. Beberapa interaksi baru baik daring atau luring aku nikmati dalam sendiri. Belajar untuk menjadi diri sendiri hingga beberapa dari mereka berkata, kamu berubah.

Jadilah hadiah untuk waktu yang saat ini ada dihadapanku. Segala sulit dan sabar sampai terima kasih Tuhan yang hanya diucapkan lewat doa pagi. Pelan-pelan mencoba menanjak dalam keterbatasan dan perasaan yang entah kenapa masih ada tersisa kosong.

Ternyata aku bukan manusia yang sedingin itu. Cuek bukan temanku, sendiri bukan kesukaanku. Tapi aku suka bahagia dalam tenang dengan sedikit keramaian dan banyak makhluk Tuhan yang baik-baik dan tulus.

Bertemu teman yang jaraknya jauh sekali, kembali merajut benang yang tercecer, merasa nostalgia dan deja vu berulang kali. Aku menambah koleksi buku, memperbaiki fisik, jiwa dan pikiran.

Sebuah progres yang betul-betul sepi dan senyap. Tidak ada sertifikat pencapaian, tidak ada label juara, tidak ada relasi yang berdampak atau kebanggan signifikan yang nyata.

Progresku benar-benar dalam keheningan, tanpa siapa-siapa dan sunyi. Tapi jiwaku merasa dipandu, dipertemukan oleh banyak kebetulan kecil dan sinkronisitas yang tidak aku sangka. Atau malah prediksi yang belum terjadi? Mungkin juga keberuntungan yang awalnya tidak kuharapkan.

Benar kata pemuka agama, spiritualisme adalah jalan yang sepi. Sampai pertanyaanmu dianggap berlebihan, perasaanmu dianggap bualan, pikiranmu dianggap aneh dan cara menikmati hidupmu dianggap menyimpang. Memangnya tidak boleh bersesat-sesat dahulu lalu dapat pencerahan kemudian? Bukannya mereka yang mencari tahu tentang Tuhan biasanya akan ateis sebentar lalu dapat hidayah kemudian?

Tapi seiring waktu berjalan, empatiku justru bertumbuh. Sampai aku takut membunuh serangga, sampai aku merasa kurang kalau aku tidak ingat Tuhan, sampai aku ingin memberikan hidupku sepenuhnya hanya untuk kemanusiaan.

Temanku tidak menjauh, tapi aku merasa semakin berbeda dan asing. Anehnya aku justru bertemu dengan seseorang yang bahkan kontak fisik pun tak pernah, tapi banyak berbagi isu yang serupa. Jauh perjalanan mereka dalam sepi sejauh perjalananku juga.

Sekarang aku tidak terlalu menyukai musik, rasanya mereka tidak membawaku kemana-mana dan memberiku apa-apa. Padahal aku termasuk orang yang sulit lepas darinya, sampai telingaku pengang. Semua yang aku lihat, hanya ilusi yang bahkan tidak merubah apa-apa bagi hidupku.

Aku semakin ingin hidup dalam realita yang nyata, antara aku, Tuhan dan hidup ini. Aku memilih bersandar di Kuasa-Nya. Entah apa lagi yang akan Tuhan berikan padaku.

Sebagian diriku sudah beres, sebagian lagi masih perlu ditelusuri. Tapi dalam ekspedisi ini, aku justru menemukan hawa tak biasa. Aku seperti diajak kembali menyelam ke dalam perasaan optimisme dan harapan saat masih ambisius dulu. Aku seperti dikejar-kejar sampai jantungku berdebar.

Kadang sebuah gambar biasa bisa membuat jantung ini bergetar hebat, lain waktu sebuah lagu yang tiba-tiba terputar membawaku pada core memory yang minta dibangunkan lagi. Perasaan yang tidak berhenti memaksa ini, akhirnya membuatku kembali belajar menyelam pelan-pelan.

Aku ingin belajar berbahagia, pada momen-momen sederhana dan kecil yang aku punya saat ini. Karena mungkin saja, suatu hari apa yang aku harapkan akan datang padaku di momen paling tidak terprediksi bahkan oleh pikiranku sendiri. Aku ingin belajar menyerahkan diriku pada Tuhan dan banyak berdialog dengan-Nya.

Sekarang aku kurang tertarik pada kata “berusaha”. Karena ketika dulu aku mengusahakan segala hal yang ingin aku usahakan, semuanya berbalik arah. Dari banyak kompetisi, tak satupun label juara. Dari banyak interaksi tak satupun menetap. Dari banyak keinginan, rasanya sulit minta ampun untuk terwujud padahal menurutku tidak sesulit itu harusnya.

Semua yang datang dengan loyal, hanya berasal dari momen yang sama sekali tidak aku bayangkan. Bukan dari momen yang aku rancang dan rencanakan.

Dibalik segala pertanyaan, kendala, keraguan, khawatir, self judgment dan banyak hal lain yang membuatku pusing. Aku punya Engkau dan perantara-Mu yang membantuku.

Tuhan, aku memang sendiri tapi aku tidak sendirian.

--

--