Kota Mati dan Hutan Bambu

Maremia Azani
7 min readJul 12, 2024

--

Photo by ALEXANDRE LALLEMAND on Unsplash

Panas terik menginggit, matahari terasa besar dan dekat. Di sini aku bermandi keringat. Berdiri di atas aspal tanpa alas kaki. Jalan raya sepi, dan terlihat orang-orang berhamburan panik ke satu arah.

Seperti orang kerasukan, wajah dan bahasa tubuh mereka tidak karuan. Berteriak, menjerit dan saling mencaci. Saling meludah, saling menghalangi jalan masing-masing, saling bersikutan dan saling menghina.

Sebuah pemandangan menjijikan terlihat jelas di depan mataku. Sedang aku termangu, berdiri di pinggir jalan. Harusnya kakiku sudah meleleh, sedangkan aspal itu sudah seperti gelombang fatamorgana. Aku tidak merasakan matahari membakar kulit, tapi mataku sempat mengernyit.

Sadar bahwa aku sendirian saja yang tidak bergerak. Bukannya berlari, aku malah menatap kegaduhan di depan mataku dengan bingung.

Ini kiamat, pikirku.

Lalu gema suara seorang laki-laki dari kejauhan memanggil namaku. Lama kelamaan semakin dekat. Kupandangi asal suara, terlihat sosok itu tergesa-gesa, nafasnya membara, keringat bercucuran dan ia terlihat lelah. Tapi energinya seolah tidak habis, seperti ada kekuatan yang merasuki semua orang untuk mendatangi satu tujuan yang sama.

“AZANIII. HARUSNYA KAMU LARI!” katanya sambil berteriak dari jarak lima meter. Secepat kilat kakinya melangkah, meraih tanganku dan mengajak aku ikut bersamanya.

Sambil mengikuti langkah kakinya aku bertanya, “Ada apa?”

Dalam lari kecil ini, aku membaca raut wajahnya yang tampak tidak sabaran, dia menjelaskan sebelum akhirnya meninggalkanku.

“Di sana ada hutan bambu, sebuah tujuan bagi kita semua, tempat yang tenang dan indah. Ayooo!” ia memaksa agar aku berlari lebih cepat.

Tapi aku enggan terburu-buru, seolah-olah sedang dipaksa untuk tenang, entah oleh apa atau siapa. Aku justru berlari kecil dipinggir jalan aspal dekat trotoar sambil memperhatikan orang sekitar.

“Duluan kalau mau.” Kataku. Dari ucapan itu, laki-laki tadi mempercepat langkahnya dan berlari jauh meninggalkanku yang lamban.

Lalu tiba-tiba aku mendengar suara yang berkata, ini adalah simulasi.

Entah suara siapa dan darimana. Aku mendengar ada yang membimbingku disini. Tak berwujud dan tak terlihat, tapi suaranya jelas menyapa indra.

Selamat datang di sebuah manifestasi tentang dunia yang tidak dibawa mati. Di sini manusia ditunjukan bagaimana perbuatannya di dunia, bagaimana pula ia akan diperhitungkan. Tubuh yang tidak ada harganya, akan jelas terlihat bahwa jiwa yang tidak diberi makan akan haus dan lapar.

Lari yang begini-begini saja membuatku sadar akan sesuatu. Bahwa orang-orang ini berlari begitu cepat, berkendara begitu cepat, saling menghalangi dan memaki. Seolah baterai mereka sengaja di isi penuh oleh Tuhan, tanpa rehat dan tanpa lemah.

Mereka saling meludah, dan akupun juga terkena imbasnya. Lain lagi kulihat ada yang membawa kayu, agar bisa memukul siapa saja yang berusaha menghalangi langkahnya. Ada pula yang saling menendang, menusuk tubuh bahkan bertengkar dan menabrakan diri.

“Kerusuhan macam apa yang kuliat ini? Kenapa semua orang terlihat sakit jiwa?”

Begitulah manusia. Bagaimana mereka berperilaku di dunia, akan diperlihatkan dengan jelas sesuai amal perbuatannya. Bukan Kami yang sengaja, tapi mereka sendiri yang menginginkannya.

Cuaca semakin terik dan panas, perilaku mereka juga semakin liar dan tak karuan. Ditengah-tengah pemandangan itu, aku melihat sosok perempuan. Berlari pelan bukan karena alasan yang sama sepertiku, tapi karena orang-orang yang terus menghalangi langkahnya.

Kadang tubuhnya disiram air, kadang diludahi, dan ia tampak diam saja dengan semua perlakuan itu. Lama kuamati, aku baru sadar. Perempuan itu adalah temanku.

Tapi kenapa kulitnya gelap? Kenapa rambutnya keriting? Kenapa ia terlihat bukan seperti manusia pada umumnya? Wajahnya seperti dibalur abu arang, kulitnya seperti kayu hangus terbakar.

Jelek, pikirku. Tapi ada sesuatu di sana, di wajah itu, di balik balutan fisik yang jelek itu ada sifat manusia yang luar biasa. Teguh pendirian, pemberani, berhati baik, penuh damai dan cinta kasih. Dia bukan manusia pada umumnya.

Perhatikan perempuan itu. Kalian akan bersinggungan dan berdekatan. Amati!

Aku memanggil namanya, tapi ia tidak membalas apapun melainkan hanya senyum tipis dan lirikan. Lalu langkahnya dipercepat, melewati semua orang dalam tempo yang anggun dan konsisten.

Fokus. Kata suara itu lagi yang berhasil mengalihkan pandanganku ke depan dan berlari sesuai tempoku tanpa paksaan. Aku adalah aku dan hutan bambu tidak akan beranjak dari situ.

Benar saja. Di ujung jalan raya dari kota mati yang sudah rusak parah aku melihat sebuah gerbang. Hijau dan sejuk dengan pramusaji di depan memberikan segelas minuman.

Ajak tubuhmu kesana, minum apa yang sudah disajikan, duduk dan berkumpul dengan orang-orang yang setara. Bicara dengan mereka, dan tanya pengalaman hidupnya.

Ditengah hutan itu ada sebuah lahan kosong. Orang-orang disini berkumpul, saling mengobrol, bertukar pengalaman dan bercerita. Sedangkan aku masih menyeka keringat dan belum berani menyapa.

Wajah damai tanpa beban, senyum tulus, bahasa tubuh yang terbuka, ucapan yang santun dan pakaian putih yang bagus. Jas bagi laki-laki dan gaun bagi perempuan.

Disinilah tempatmu, tapi kisahmu belum selesai. Perhatikan! Bergabung, berbaur dan ajak bicara. Temukan teman, temukan apa yang berbeda, dan ikuti aturan mainnya.

Aku berkeliling dan menyadari satu hal. Udara di sini teramat sejuk, matahari tidak menggigit kulit, angin semilir dan bau dedaunan terasa kuat.

Tertangkap mataku diantara hutan bambu itu sebuah danau. Lalu kutemui teman yang memanggil namaku tadi. Sepertinya dia sudah menemukan kelompoknya dan aku turut senang akan hal itu.

Ini surga?

Pikirku sambil menenggak minuman yang seketika menghilangkan haus dan memberiku energi damai yang berbeda. Rasanya seperti minum dari mata air langsung, mata air paling jernih dan bersih, dengan suhu yang pas dan rasa paling ramah dilidah. Seolah minuman itu khusus diciptakan untukku.

Sebelum aku tenggelam terlalu dalam dengan skema ajaib ini, seseorang menghampirku tiba-tiba.

“Hai Azani! Lama tidak bertemu. Kamu apa kabar?” Perempuan manis itu tersenyum padaku, memeluk dan memberikan ciuman pipi sebagai tanda persahabatan.

“Aku baik.” Senyum canggung tersungging di wajahku.

“Tempat ini bagus ya?”

“Iya. Damai sekali.”

Semua orang terlihat baik dan ramah. Semua yang berkumpul baik tua dan muda adalah orang-orang yang hidup dalam damai dan penuh kasih.

Mereka terasa dekat dan baik, seolah kami saling mengenal satu sama lain meskipun kami tidak kenal satu sama lain.

Seperti itulah orang-orang yang Kami kumpulkan dengan tujuan yang sama. Sesungguhnya kalian akan mengenali satu sama lain meskipun kalian tidak mengetahui satu sama lain. Semua akan terasa familiar dan semua akan terasa nyaman.

Sayangnya adegan ramah-tamah ini tidak berlangsung lama karena sebuah suara tegas -bukan suara laki-laki atau perempuan- menarik perhatian semua orang.

“SEMUANYA BERKUMPUL!”

Suara itu datang dari tepi danau. Di lahan itu terdapat sebuah bangunan kecil seperti menara. Dengan anak tangga spiral. Bata ekspos berwarna abu-abu pucat yang dijaga oleh dua sosok.

Malaikat? Aku bergumam lagi.

Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat. Dua sosok berjubah yang wajahnya tertutup cahaya terang berdiri dihadapan kami. Satu sosok membawa tongkat, satu sosok membawa mahkota.

Diantara kedua malaikat itu berdiri perempuan tadi. Temanku si rambut keriting dan si kulit gelap. Ia berdiri dengan raut wajah santai, paras tanpa ekpresi itu justru memberikan sejuta ekspresi bagiku.

“Begitu, ya.” kataku pada seseorang disebelahku yang tak lain adalah perempuan yang mengecup pipiku. “Manusia benar-benar dinilai dari amal perbuatannya.”

Tak lama berselang salah satu malaikat berkata, “Di depan kita adalah percontohan. Bahwa Tuhan tidak menilai umatnya dari bentuk apapun selain amal perbuatan dan perilakunya. Tidak seperti yang lain, bukankah ia berbeda? Tapi Tuhan memilihnya agar menjadi pengingat bagi kita semua. Tubuhmu akan tidak bernilai apapun selain hatimu.”

Lalu orang-orang bergemuruh. Ada yang terharu, ada yang tersenyum, ada yang bangga dan penuh syukur tanpa rasa iri atau tersaingi sama sekali. Semua orang disini benar-benar saling mengasihi, bersih dan putih.

“Kami akan menaikan derajat dan surganya di tempat tertinggi. Dan mahkota ini adalah hadiah bagi mereka yang telah menyerahkan hidup hanya untuk Tuhannya.”

Terpasang sudah mahkota di kepalanya. Oleh dua malaikat itu, ia diajak berjalan menaiki tangga di dalam menara. Sampai di puncak, perempuan itu diajak naik, ia terbang tinggi bersama dua malaikat tadi.

Sedangkan kami menunggu loket-loket surga, dan aku mendapati diriku berada di surga orang biasa. Tapi syukurku lebih dari yang aku duga.

Seperti itulah percontohan yang Kami berikan kepada orang-orang yang mengerti. Bahwa hidup di dunia bukanlah tujuan yang sesungguhnya, bahwa tidak ada yang dinilai Tuhan selain amal perbuatannya. Kebaikan yang kita sebar untuk dunia, hati yang tulus dan ikhlas, jiwa yang damai, pikiran yang bijaksana, perbuatan yang berani. Semua demi kehidupan yang lebih baik lagi.

Dalam perpisahan bersama teman-teman lain untuk menuju loket surga masing-masing. Aku menemui pemandangan mengerikan. Di seberang danau kutemui seorang yang kukenal dan dekat denganku sedang terbakar api.

Aku kaget bukan kepalang, hatiku pedih tapi aku sadar betul hukum Tuhan. Sebagian dari jiwaku berkata bahwa aku tidak perlu khawatir karena memang itulah adanya. Sedangkan sebagian jiwaku yang lain akan mengorbankan segalanya untuk menggantikan posisi itu.

Aku bergerak melangkahkan kaki, berjalan menuju malaikat terdekat dan bertanya dengan gusar.

“Hai malaikat. Bolehkah aku menukarkan posisiku dengan orang yang ada disana?” Aku menunjuk laki-laki yang sedang menjerit terbakar api neraka.

“Tidak.” Katanya tegas.

“Kenapa tidak? Dia ayahku dan aku anaknya.”

“Ayah berkorban dan bertanggung jawab untuk anak dan keluarganya. Apa yang kamu dapatkan disini sebagian adalah karenanya, sebagian lagi karena dirimu sendiri.”

“Lalu tidak adakah negosiasi?”

Malaikat diam untuk beberapa saat. Aku menunggu jawabannya.

“Bisa. Tapi siapkah kamu kehilangan sebagian darimu?”

“Siap!” Aku menjawab mantap. “Ringankan hukumannya, ambil dari diriku yang bisa diambil.”

“Sekalipun level surgamu turun?”

“Tidak masalah.”

“Seharusnya ini tidak bisa dilakukan. Karena seorang manusia memiliki buku catatan, tanggung jawab dan resiko masing-masing atas perbuatannya. Tapi aku melihat ketulusan hatimu. Jadi mungkin Tuhan akan kabulkan.”

Saat itu juga, aku melihat sebagian api di tubuh ayahku padam. Ia tampak tersenyum meskipun sadar bahwa api itu tidak sepenuhnya hilang.

Disusul oleh pakaianku yang tinggal setengah. Gaun panjang yang tadinya menutup mata kaki, kini hanya menutup lutut saja. Dan aku terduduk, di tepi danau dekat taman berpagar dibatasi oleh bunga lavender.

Detik itu aku sadar, surgaku telah turun. Tapi bukankah lebih bersyukur? Karena meskipun aku menukar apa yang kupunya, aku masih ada dalam surga-Nya.

Kepala pusing dan jantung berdebar, tubuhku kaku dan lelah. Rasanya nyawa belum terkumpul sempurna, tapi aku harus segera ke kamar ibuku. Dengan suara serak khas bangun tidur dan wajah yang kusut aku berkata:

“Ma. Aku mimpi Padang Mahsyar.”

--

--